Laman

Selasa, 11 Mei 2010

Jangan Menangis Mama

Bu Sally segera bangun ketika melihat dokter bedah keluar dari kamar operasi .
Dia bertanya dengan penuh harapan:
Bagaimana anakku?
Apakah dia dapat disembuhkan?
Kapan saya boleh menemuinya?
Dokter bedah menjawab, “Saya sudah berusaha sebaik mungkin, tapi sayangnya anak Ibu tidak tertolong"
Bu Sally bertanya dengan hati remuk, “Mengapa anakku yang tidak berdosa bisa terkena kanker?
Apa Tuhan sudah tidak peduli lagi?
Di mana Engkau Tuhan ketika anak laki-lakiku membutuhkanMu? "
Dokter bedah bertanya, “Apa Ibu ingin bersama dengan anak Ibu selama beberapa waktu?
Perawat akan keluar untuk beberapa menit sebelum jenazahnya dibawa ke universitas. "
Bu Sally meminta perawat tinggal bersamanya saat dia akan mengucapkan selamat jalan kepada anak lelakinya.
Dengan penuh kasih dia mengusap rambut anaknya yang hitam itu.
“Apa Ibu ingin menyimpan sedikit rambutnya sebagai kenangan?” perawat itu bertanya.
Bu Sally mengangguk. Perawat memotong sedikit rambut dan menaruhnya di dalam kantong plastik untuk disimpan.
Ibu Sally berkata, Jimmy anakku ingin mendonorkan tubuhnya untuk diteliti di Universitas.
Dia mengatakan mungkin dengan cara ini dia dapat menolong orang lain yang memerlukan.
“Awalnya saya tidak membolehkan tapi Jimmy menjawab, 'Ma, saya kan sudah tidak membutuhkan tubuh ini setelah mati nanti. Mungkin tubuhku dapat membantu anak lain untuk bisa hidup lebih lama dengan ibunya. "
Bu Sally terus bercerita, “Anakku itu memiliki hati emas. Jimmy selalu memikirkan orang lain. Selalu ingin membantu orang lain selama dia bisa melakukannya. "
Bu Sally meninggalkan rumah sakit setelah menghabiskan waktunya selama enam bulan di sana untuk merawat Jimmy…
Dia membawa kantong yang berisi barang-barang anaknya. Perjalanan pulang sungguh sulit baginya. Lebih sulit lagi ketika dia memasuki rumah yang terasa kosong.
Barang-barang Jimmy ditaruhnya bersama kantong plastik yang berisi segenggam rambut itu di dalam kamar anak lelakinya.
Dia meletakkan mobil mainan dan barang-barang milik pribadi Jimmy, anaknya, di tempat Jimmy biasa menyimpan barang-barang itu.
Kemudian dibaringkan dirinya di tempat tidur. Dengan membenamkan wajahnya pada bantal, dia menangis hingga tertidur. Di sekitar tengah malam, Sally terjaga. Di samping bantalnya terdapat sehelai surat yang terlipat.
Surat itu berbunyi:

“Mama tercinta,
Saya tahu Mama akan kehilangan saya, tetapi saya akan selalu mengingatmu Ma dan tidak akan berhenti mencintaimu walaupun saya sudah tidak bisa mengatakan ‘Aku sayang mama’.
Saya selalu mencintaimu bahkan semakin hari akan semakin sayang padamu Ma. Sampai suatu saat kita akan bertemu lagi. Sebelum saat itu tiba, jika Mama mau mengadopsi anak lelaki agar tidak kesepian, bagiku tidak apa-apa Ma .
Dia boleh tidur di kamarku dan bermain dengan mainanku. Tetapi jika Mama memungut anak perempuan, mungkin dia tidak melakukan hal-hal yang dilakukan oleh kami, anak lelaki.
Mama harus membelikannya boneka dan barang-barang yang diperlukan oleh anak perempuan. Jangan sedih karena memikirkan aku Ma. Tempat aku berada sekarang begitu indah. Kakek dan nenek sudah menemuiku begitu aku sampai di sana dan mereka menunjukkan tempat-tempat yang indah. Tapi perlu waktu lama untuk melihat segalanya di sana.
Malaikat itu sangat pendiam dan tampak dingin. Tapi saya senang melihatnya terbang. Dan apa Mama tahu apa yang kulihat? Yesus tidak terlihat seperti gambar-gambar yang dilukis manusia. Tapi, ketika aku melihat-Nya, aku yakin Dia adalah Yesus. Yesus sendiri mengajakku menemui Allah Bapa! Tebak Ma apa yang terjadi? Aku boleh duduk di pangkuan Bapa dan berbicara dengan-Nya seolah-olah aku ini orang yang sangat penting.
Aku menceritakan kepada Bapa bahwa aku ingin menulis surat kepada Mama untuk mengucapkan selamat tinggal dan kata-kataku yang lain. Namun aku sadar bahwa hal ini pasti tidak diperbolehkan-Nya. Tapi Mama tahu, Allah sendiri memberikan sehelai kertas dan pensil-Nya untuk menulis surat ini kepada Mama.
Saya pikir malaikat Gabriel akan mengirimkan surat ini kepadamu Ma. Allah mengatakan akan menjawab pertanyaan Mama ketika Mama bertanya ‘Di mana Allah pada saat aku membutuhkan-Nya?’ Allah mengatakan Dia berada bersama diriku seperti halnya ketika putera-Nya Yesus disalib.
Dia ada di sana Ma, dan dia selalu berada bersama semua anak. Ngomong-ngomong, tidak ada orang yang dapat membaca apa yang aku tulis selain Mama sendiri. Bagi orang lain, surat ini hanya merupakan sehelai kertas kosong. Luar biasa kan Ma? Sekarang saya harus mengembalikan pensil Bapa yang aku pinjam.
Bapa memerlukan pensil ini untuk menuliskan nama-nama dalam Buku Kehidupan. Malam ini aku akan makan bersama dengan Yesus dalam perjamuan-Nya. Aku yakin makanannya akan lezat sekali.
Oh, aku hampir lupa memberitahukanmu Ma. Aku sudah tidak kesakitan lagi. Penyakit kanker itu sudah hilang. Aku senang karena aku tidak tahan merasakan sakit itu dan Bapa juga tidak tahan melihat aku kesakitan.
Itulah sebabnya mengapa Dia mengirim Malaikat Pembebas untuk menjemputku. Malaikat itu mengatakan bahwa diriku merupakan kiriman istimewa! Bagaimana Ma?

Salam kasih dari Allah Bapa, Yesus & aku.

(Setan akan menghalangi surat ini)

Sempatkan diri Anda selama 60 detik untuk meneruskan surat ini dan Anda akan menyelamatkan banyak orang yang percaya untuk saling mendoakan. Kemudian heninglah sebentar dan rasakan bagaimana Roh Kudus bekerja dalam hidup Anda agar Anda melaksanakan perbuatan yang dikehendaki oleh Bapa “Ketika Anda jatuh, Tuhan akan membangkitkan Anda.”
Email surat ini.

Judul: jangan menangis mama

Kirimkan surat ini kepada teman-teman Anda dan Anda melihat bagaimana Roh Kudus menerangi hidup Anda.

“~Tuhan memberkati Anda ~”

kembali ke depan
selengkapya...

TIDAK MENANGIS WAKTU AKU KALAH

"Aku berdoa supaya aku tidak menangis waktu aku kalah...."
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah
siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap
mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri,sebab memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding
semua lawannya, mobil Mark-lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk
berpacu melawan mobil lainnya. Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit
lampu kedip di atasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark
bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya
sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan.
Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah
siap 4 mobil, dengan 4 pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah di antaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti
sedang berdoa.
Matanya terpejam, dengan tangan bertangkup memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, "Ya, aku siap!".
Dor!!! Tanda telah dimulai.
Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil tu pun meluncur dengan cepat.
Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing.
"Ayo..ayo... cepat..cepat, maju..maju", begitu teriak mereka.
Ahha...sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai.
Dan...
Mark-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati.
"Terima kasih."
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya.
"Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?"
Mark terdiam. "Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan" kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, "Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain, aku,
hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah."
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi
ruangan.
Teman, anak-anak, tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua.
Mark, tidaklah bermohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian.
Mark, tak memohon Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta
Tuhan mengabulkan semua harapannya.
Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya.
Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan
kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga. Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk
berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk
menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa
pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata.
Padahal, bukankah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya? Kita, sering terlalu lemah
untuk percaya bahwa kita kuat.
Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau
kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah
menyerah.
Jadi, teman, berdoalah agar kita selalu tegar dalam setiap ujian.
Berdoalah agar kita selalu dalam lindungan-Nya saat menghadapi itu ujian tersebut.
Amin....

Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya.
Amsal 15:23
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang. Amsal 16:24
Orang yang berpengetahuan menahan perkataannya, orang yang berpengertian berkepala dingin. Amsal 17:27


kembali ke depan
selengkapya...

Pohon Apel dan Anak Lelaki

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu
setiap hari.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya,
tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu
sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat
mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini
telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel
itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke
sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan
anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki
itu."Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang
untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh
mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan
uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat
senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi
dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah
datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang
melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon
apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus
bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat
tinggal. Maukah kau menolongku?" Duh, maaf aku pun tak memiliki
rumah.
Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon
apel itu dan pergi dengan gembira.Pohon apel itu juga merasa
bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak
pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel
merasa sangat bersuka cita menyambutnya."Ayo bermain-main lagi
denganku," kata pohon apel."Aku sedih," kata anak lelaki itu."Aku
sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan
berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"
"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan
menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar
dan bersenang-senanglah."
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan
membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak
pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun
kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak
memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak
memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu.
"Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata
pohon apel."Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak
lelaki itu."Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku
berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua
dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah
setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah
kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan
beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan
beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di
pelukan akar-akar pohon.
Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air
matanya.
Pohon apel itu adalah orang tua kita.
Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu
kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya
datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak
peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk
memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat
kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan
orang tua kita.
Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan.
Dan,yang terpenting: cintailah orang tua kita.
Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya;
dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan
diberikannya pada kita.



kembali ke depan
selengkapya...